Minggu, 19 Agustus 2012

Sejarah Asrama 4 Mei

A.    PEMBENTUKAN
Pelajar Islam Indonesia (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amin Syahri dan Ibrahim Zarkasji.
Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri
menjuluki sekolah umum dengan “pelajar kafir”. Sementara pelajar sekolah umummenilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan “santri kolot” atau santri “teklekan”.
      Pada masa itu sebenarnnya sudah ada organisasi paelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, maka pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beri’tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan tersebut kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodiningratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain; Anton Tinur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji serta semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Hasil kesepakatan tersebut disampaikan Yoesdi Ghozali dalam kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1 April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudian memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
 Menindaklanjuti keputusan kongres pada Ahad 4 Mei 1947, diadakanlah pertemuan di kantor GPII, Jalan Margomlyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji dan Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesda Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00 WIB, 4 Mei 1947.
Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 mei diperingati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.  
B.     REVOLUSI FISIK
Tak lama setelah PII berdiri pada tahun 1947, Belanda

Sejarah Asrama Empat mei
Terjadinya “Asrama Empat Mei 36 A,B,C,D” memang mempunyai sejarah tersendiri dimana sebelum dinamai seperti demikian tempat tersebut adalah Rayon “Sunan Gunung Jati”, adapun pengurus pusat sebelumnya bertempat di gedung “Indonesia Muda” (yang sekarang menjadi kantor Yayasan), perpindahan dari gedung Indinesia Muda ke rayon Sunan Gunung Jati betul-betul melelahkan. Bayangkan, begitu banyak peralatan organisasi, mulai dari almari sampai ke arsip-arsip dan juga puluhan kotak pengurus diangkat dan diangkut hanya oleh delapan orang personil dalam satu malam, terlepas dari semua itu, kepindahan yang disetujui oleh semua pengurus yang pada saat itu berjumlah 36 personil yang dikoordinatori oleh Moh.Thoha Yusuf Zakaria atas pertimbangan beberapa hal, antara lain:
1.      Gedung Indonesia Muda kurang strategis sebagai tempat pengukur kerja tidak dapat bekerja semaksimal mungkin sebagaimana diharapkan. Karna gedung tersebut terlalu jauh untuk dapat memantau perkembangan dan aktivitas anggota.
2.      Letak gedung Indonesia Muda berjauhan dengan masjid, sehingga dengan demikian selain Majlis Da’wah banyak yang berjamaah di kamar dengan berbagai alasan.
3.      Para pengurus menginginkan bersama-sama dengan anggota menjalankan sunnah-sunnah pondok, seumpama bahasa dan lain sebagainya.
Oleh karena itu dengan keputusan bapak Pimpinn Pondok KH. Ibrohim Thoyyib, bertepatan dengan tanggal 4 Mei 1988 M, Pusat kepengurusan telah berpindah ke Rayon Sunan Gunung Jati. Namun setelah berjalan beberapa waktu, nama tempat ini belum juga ada, karena itu dikumpulkanlah seluruh Badan Pengurus Harian (BPH) yang pada waktu itu dihadiri oleh 7 orang personil antara lain:
1.      Ketua Umum        : Moh. Thoha YZ                    dari Bondowoso
2.      Sekretaris Umum  : Ahmad mikan                       dari Rembang
3.      Bendahara Umum : Almujaini                              dari Aceh
4.      Kabid Intern         : Abdul Jalil                             dari Singapura
5.      Kabid Extern        : Asep Mahmud                      dari jakarta
6.      Kabid PMP           : Sayid Umar                           dari Samarinda
7.      Sekretaris I            : L. Syamsul H                        dari Lombok
Pada saat itu terjadilah musyawarah yang cukup hangat terhadap pemberian nama tempat pusat kepengurusan itu dengan bermacam-macam usulan nama dan alasannya yang dikemukakan oleh masing-masing peserta musyawarah.
Abdul jalil                   : Saya lebih cocok dengan nama “Miftahul Khoiri”, mudah-   mudahan kepengurusan akan lebih baik dengan perpindahan ini.
Ahmad Mikan             : Menurut pendapat saya “Miftahul Huda” saja, semoga kepengurusan kita di tempat ini selalu dengan limpahan petunjuk dari Allah.
Asep Mahmud            : Menurut saya yang paling cocok hanya gedung “Bangkit”, karna memang semua pengurus dari semua bagian bertekad untuk membangkitkan kegiatan organisasi. Kita haap tempat ini adalah awal dari kebangkitan kepengurusan sampai tahun mendatang.
M. Toha YZ.               : Kalau menurut kak Syamsul bagaimana….?
L. Syamsul H.             : Saya setuju dengan gedung “Bangkit”, seperti yang dikatakan kak Asep tadi.
M. Toha YZ.               : Kalau kak Umar bagaimana…..?
Sayid Umar                 : Saya juga sama dengan kak Syamsul gedung “Bangkit” rasanya lebih mengena.
M. Toha YZ.               : Apa semua setuju dengan itu….?
Al – Mujaini                : Kak saya usul……
                                      Kita semua ingat bahwa perpindahan ke tempat ini bertepatan dengan tanggal 4 Mei, jadi beri saja namanya dengan “Gedung Empat Mei”.
Asep Mahmud            : Kalau begitu saya lebih setuju dengan itu !. Tapi, jangan “Gedung Empat Mei”, karena gedung biasanya berdiri sendiri, sedangkan tempat kita ini bersambung dengan kamar anggota, nah ! Jadi, kita sebut saja “Asrama Empat Mei” Bagaimana….?
Akhirnya di ketuklah meja tiga kali oleh ketua umum menandakan disetujuinya nama itu. Setelah itu mengenai tambahan 36 adalah karena personil Pengurus Pusat pada waktu itu berjumlah 36 orang dikamar kepengurusan di urutkan dari selatan dengan sebutan A-B-C-D, kamar A di pergunakan sebagai kantor pengurus. Lengkaplah sudah nama yang di idam-idamkan “ASRAMA EMPAT MEI”.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo