Kamis, 07 Juni 2012

RELATIFNYA KEPUASAN


sekelumit kisah ketua Umum OSWAS, M. AMIRUDDIN DARDIRI; Besok Kamis/21-06-2012, bertepatan dengan berkahirnya KMB semester II bag. Pengajaran,  genap Delapan bulan saya menjadi Ketua Umum OSWAS didampingi seluruh staf-staf saya -yang awalnya berjumlah 25 orang berubah menjadi 24 orang-. Ada yang bilang ”baru” delapan bulan. Ada yang bilang ”sudah” delapan bulan.

Betapa relatifnya waktu…

Selama tujuh bulan itu, saya satu kali sakit. Setengah hari saya tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di kantor BPH.

Tiba-tiba saja, ketika hari sudah berubah malam, sakit itu sembuh sendiri…

Selama tujuh bulan itu, saya tiga kali pulang ke kampung halaman -selain waktu liburan pondok. Pulang yang pertama untuk men-service kamera digital saya. Pulang yang kedua untuk penggalian dana PORSENI XIII ke jenang kudus. Pulang ketiga untuk minta
pangestu kepada orang tua karena akan mengikuti lomba MHQ DINAR TAZKIA 2012 di Sentul city-Bogor.

Selama tujuh bulan di OSWAS, banyak yang mengatakan tubuh saya makin kurus dan tak terurus. Mulai dari pola makan hingga peci keramat yang saya kenakan sehari-hari, seingat saya sudah ada tiga asatidz yang menegur saya untuk mengganti peci tua itu dengan yang baru, beliau adalah Wali kelas saya, Ust. Singih Rahmanu, Ust. Khoirul Fawaid dan yang terakhir Ust. Hanif Muavikin.

Bukannya tidak mau mengganti dengan yang baru, tapi saya memikirkan nasib sang peci tua, mau dikemanakan jika saya beli peci yang baru. Siapa lagi yang akan dan mau mengenakannya kalau bukan saya sendiri?

Sudah tidak terhitung berapa kali  saya pergi ke pusat kota bersama rekan-rekan menggunakan sepeda ontel. Padahal jaraknya cukup jauh, 7 km. tak jarang ketika sampai di tujuan kita selalu basah, entah karena kehujanan atau bercucurnya keringat lantaran teriknya matahari.

Mula-mula, bersepeda cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak pondok-pusat kota tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.

Betapa relatifnya jarak…

Selama tujuh bulan itu, saya tiga kali menangis. Sekali di lapangan hijau Ngabar ketika pembukaan PORSENI XIII dan dua kali didalam forum rapat Dewan Pengurus. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.

Tapi, tidak berarti hari-hari saya di OSWAS adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali saya bisa tertawa lepas. Forum rapat sering menjadi tempat hiburan yang menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para pengurus OSWAS. Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.

Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal OSWAS. Orang OSWAS itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi organisasi dan pondok dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada pada mereka adalah muara.

Begitu banyak ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini, di forum rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh…
Memang, forum rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang OSWAS itu pagi-siang-malam sudah mengurus kegiatan santri-santri. Jangan pula harus tegang di forum rapat. Forum rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan saling ejek dengan jenaka. Saya bangga forum rapat OSWAS bukan lagi sebuah forum biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan.

Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.

Rasanya, selama tujuh bulan di OSWAS, saya juga belum pernah tinggal di kamar “khusus” BPH.. Saya sudah terbiasa bekerja di tempat yang sempit, atap yang bocor, dan terkesan kumuh, pun sama dengan seluruh staf-staf saya yang sekarang kita tengah menunggu perpindahan kotak dari asrama “Darurat” ke asrama yang baru.

Betapa relatifnya tempat…

Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.

Betapa relatifnya jiwa…

Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa yang terbaik yang harus dilakukan. Bukankah aktivis DP OSWAS itu umumnya “lulusan terbaik” diantara anggota marhalah yang lain? Bukankah mereka sudah sangat berpengalaman -melebihi saya? Maka, saya tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.

Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi pidato kelak hanya bisa minta petunjuk.

Saya harus sadar bahwa mayoritas DP OSWAS adalah termasuk urutan yang terbaik diantara anggota marhalah lainnya. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Saya sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian.

Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.
Betapa relatifnya sebuah kekuasaan…

Lalu, apa yang sudah kita capai selama tujuh menginjak delapan bulan ini?

Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi permasalahan-permasalahan di pondok, membantu
staf-staf pondok dalam menjalankan tugas, membangun system, dll.

Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat.
Betapa relatifnya kepuasan…

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo